Selasa, 29 Juni 2010

Waspadai Organisasi Unggas Rekayasa PMA


-->
Pemerintah dan DPR
Harus Mewaspadai Organisasi Unggas Rekayasa
Oleh Perusahaan PMA integrator

Usaha perunggasan Nasional sekarang ini telah dikuasai sepenuhnya oleh perusahaan PMA dan telah menguasai 70-80% pangsa pasar Nasional. Hal ini mengambarkan secara nyata bahwa pemain atau masyarakat yang memanfaatkan potensi unggas Nasional adalah masyarakat perusahaan komersial PMA. Peran serta masyarakat rakyat peternak kecil sudah berakhir dan tamat. Oleh karena itu para perusahaan PMA sekarang ini dalam politisasi ekonomi unggas, mengatas namakan masyarakat peternak yang seolah olah peternak kecil yang melibatkan masyarakat banyak masih berjalan usahanya dan menikmati hasil dari ekonomi unggas.

Organisasi perunggasan yang selalu mengatas-namakan masyarakat seperti FMPI (Forum Masyarakat Perunggasan Indonesia) adalah organisasi perunggasan bentukan dan underbow tidak langsung perusahaan PMA untuk dijadikan organisasi alat konspirasi ekonomi unggas. Hal ini dilakukan mereka adalah untuk diketahui Pemerintah dan DPR yang seolah-olah FMPI itu mewakili seluruh aspirasi peternak di Indonesia. Ketua FMPI adalah sdr. Don P. Utoyo adalah seorang pensiunan DEPTAN-RI yang sangat loyal menyiapkan dirinya bersama FMPI sebagai bumper-tameng para perusahaan PMA integrator saat ini. Don P. Utoyo sewaktu menjadi pegawai negeri di DEPTAN menjabat sebagai salah seorang Direktur yang selalu patuh kepada para perusahaan PMA bila ada permasalahan yang berhadapan dengan para peternak rakyat. Rutinitas perilaku pemerintah di DEPTAN, permasalahan peternakan rakyat ditampungnya pada saat itu, sementara selesai acara penampungan permasalahan, mereka (para pejabat Deptan) melakukan lobby yang intim serta akrab dengan para pengusaha PMA integrator.


Kehadiran FMPI ini adalah direkayasa sehingga berada pada posisi yang merupakan induk dari beberapa organisasi perunggasan lainnya seperti GPPU, GPMT, GAPPI, Pinsar Unggas, PPAN, PPUN dan GOPAN organisasi ini semua adalah organisasi yang diwarnai dan didominasi oleh aspirasi para perusahaan PMA dimana para ketuanya selalu yang terpilih dari orang-orang perusahaan PMA integrator terbesar dan kader-kader perusahaan asing yang sangat loyal kepada para perusahaan PMA serta orang-orang yang sedang terbelit hutang dengan perusahaan PMA serta peternak kemitraan mereka. Terbukti selama organisasi-organisasi itu ada, selalu memperjuangkan untuk kepentingan perusahaan PMA semata dan kelompoknya dimana mereka selalu membuat konspirasi kesepakatan harga dan kesepakatan produksi antar sesama pabrikan.
Bila DPR atau Pemerintah berhadapan dengan tuntutan dari FMPI, GPPU, GPMT, GAPPI, Pinsar Unggas, PPUN, PPAN dan GOPAN, termasuk media-cetak majalah “Poultry Indonesia” dan “Trobos” adalah majalah peliharaan PMA integrator semuanya adalah untuk kepentingan perusahaan PMA integrator, karena semua asosiasi yang disebut diatas dijalankan oleh para pengurus dari orang-orang perusahaan PMA serta orang-orang yang terbelit hutang kepada perusahaan PMA integrator dan mereka hanya memanfaatkan serta mengandalkan potensi pasar Dalam Negeri (DN).
Seperti pada rapat dengar pendapat di Komisi IV DPR dengan FMPI pada tanggal 21 Januari 2010 yang lalu para perusahaan PMA merengek dan memelas melalui FMPI yang memaparkan permasalahan yang dihadapi perunggasan Nasional adalah ancaman penyakit, ancaman impor daging unggas, ancaman fluktuasi harga bahan baku pakan serta pengenaan PPn tergadap bahan baku pakan, pakan jadi, bibit dan unggas hidup yang semua ancaman tersebut akan sangat mengganggu kinerja bisnis perunggasan dan pada gilirannya dapat menggagalkan panen strategis sektor perunggasan baik dalam menyediakan pangan hewani maupun dalam kaitannya terhadap kehidupan ekonomi masyarakat ujung tuntutan mereka adalah untuk tidak memberlakukan PPn dan menyetop impor daging unggas (CLQ) yang dilakukan perusahaan diluar kelompok mereka. Dalam penyampaian aspirasi FMPI beserta organisasi rekayasa PMA integrator lainnya selalu menggunakan serta mengatas-namakan para peternak diseluruh Indonesia.
Kita paham selama ini dari perputaran uang dalam setahunnya pada sektor usaha perunggasan adalah ± Rp. 120 Triliun dimana 70-80% dikuasai pangsa pasarnya oleh perusahaan PMA. Usaha peternakan rakyat dalam perunggasan saat ini sangat kecil dan tidak mendapat perhatian hal ini terjadi karena pembiaran oleh Pemerintah atas berlangsungnya kejahatan ekonomi unggas berupa usaha unggas nasional yang dijalankan secara kartel dan monopoli dijalankan oleh perusahaan PMA integrator sehingga peternak unggas rakyat banyak yang bangkrut.
Selama ini yang dilakukan oleh perusahaan PMA integrator adalah tidak efisiennya usaha perunggasan karena kebiasaan monopoli dan kartel sangat berjalan lancar tanpa ada pengawasan dari Pemerintah walaupun Kartel dan Monopoli melanggar UU sehingga yang terjadi adalah memeras konsumen daging dan telur unggas Nasional. (PPUI)
Peternak Kemitraan (kemitraan semu) Merupakan Bagian Integrasi PMA integrator.
Berjalannya pola kemitraan ayam ras pedaging yang diselenggarakan perusahaan peternakan semakin marak. Bahkan bagi perusahaan tertentu pola kerjasama budidaya dengan para peternak baru itu seolah bagaikan ‘dewa penolong’ pada masa krisis yang lalu. Peternak rakyat mandiri banyak yang berjalan kembali dengan menyewakan tenaga dan kandangnya, pengusaha poultry shop kembali tumbuh sebagai bagian network integrasi PMA, Tak luput adanya gugatan terhadap eksistensi kemitraan yang dikelola perusahaan besar juga bermunculan.

Sarana produksi peternakan utama seperti bibit, pakan ternak dan obat-obatan selalu disalurkan dari produsen ke peternak melalui poultry shop binaan PMA. Ini bisa dimaklumi, karena peternak pada saat itu masih berskala kecil dan sporadis.
Pada masa itu poultry shop benar-benar berperan sebagai inti dan peternak menjadi plasma — dengan berbagai varian kesepakatan kerjasama yang sangat sepihak. Di luar itu juga ada peternak mandiri yang dapat membeli lepas sapronak kepada poultry shop dan menjual sendiri hasil budidayanya.
Usaha peternakan ayam ras semakin menampakkan daya pikatnya. Para pengusaha poultry shop tidak sedikit yang sukses mengembangkan jaringan agribisnis ini di daerah masing-masing. Peternak plasma juga banyak yang berkembang menjadi peternak mandiri tangguh. Menurut sejumlah pelaku agribisnis ayam ras, periode itu boleh dikatakan masa nikmatnya usaha peternakan ayam ras.
Tapi sayang seribu sayang, kini nikmat itu hanya berlangsung singkat, terutama setelah perusahaan peternakan PMA integrator tergiur ingin mengembangkan budidaya sehingga memperlebar pemasaran sapronaknya. Perusahaan peternakan tidak lagi menyerahkan distribusi sapronak melalui poultry shop. Mereka mulai mengepakkan sayap dengan membina (baca : memodali) poultry shop tertentu dan peternak tertentu untuk menjadi ‘agen tunggal’, guna memperbesar skala usaha dan menjadi pelanggan setianya. Era pendistribusian sapronak secara langsung dari produsen ke peternak mulai berlangsung, maka peran poultry shop ‘mandiri’ mulai surut.
Pelaku budidaya ayam ras kuat modal semakin kokoh berdiri, sementara peternak skala menengah ke bawah semakin lemah. Serangkaian kebijakan pemerintah diatas kertas sangat berpihak kepada peternak rakyat – misalnya tentang pembatasan skala usaha – pada kenyataannya tidak pernah berjalan sebagaimana yang diharapkan.
Bahkan menyikapi aturan-aturan tersebut, muncul berbagai manipulasi ‘kemitraan’ yang dilakukan perusahaan peternakan. Caranya, dengan mengatas-namakan karyawan (atau ‘koperasi karyawan’) sebagai peternak plasma, padahal hakikatnya seluruh kegiatan usaha tersebut dibiayai oleh perusahaan PMA integrator bersangkutan untuk meningkatkan produksi dan memasuki bidang budidaya dan mereka tergabung dalam organisasi PPUN dan PPAN sebagai alat organisasi rekayasa PMA integrator.
Apa maksud jahat di balik semua itu? Tidak lain untuk menyiasati larangan pemerintah perihal penguasaan usaha dari hulu hingga hilir – yang berarti memasuki bidang budidaya. Maksud kedua adalah, salah satu cara pengusaha merebut hati pemerintah agar didukung dan mendapat simpati untuk mendapat utang dari sindikasi perbankan. Akhirnya, krisis ekonomi dan moneter sejak pertengahan 1997 mengungkapkan semua itu.
Satu lagi hal penting yang patut dicatat pada masa krisis lalu adalah sikap ‘longgar’ pemerintah – dalam hal ini Departemen Pertanian yang menyatakan : untuk memulihkan penyediaan sumber pangan asal ternak sebagai akibat krisis, perusahaan peternakan ‘diijinkan’ masuk ke bidang budidaya.
Kini, suasana budidaya ayam ras seakan kembali berulang seperti pada dekade pertama perintisan. Penyelenggara pola kemitraan semakin beragam, disamping perusahaan peternakan sebagai inti, tidak sedikit poultry shop yang bangkit kembali dan menjalin kerjasama kemitraan dengan peternak kecil. Dan ada pula peternak mandiri yang berperan sebagai inti – memodali peternak-peternak skala kecil yang ternyata masih tetap ada hingga kini.
Sebenarnya masih ada kesempatan ‘mengatur’ jalannya agribisnis ini agar persaingan yang terjadi berlangsung adil, karena masih ada satu rambu yang tersisa yakni Undang-undang Anti Monopoli. Tetapi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), yang bertugas mengawal pelaksanaan UU No. 5/1999 itu, se telah menyelidik soal pendistribusian DOC KPPU dalam keputusannya menyimpulkan : Tidak Ada Praktik Kartel dalam Distribusi Bibit Ayam (DOC) dan itu diucapkan ekonom DR. Faisal Basri.
Padahal salah satu anggota KPPU sendiri mengatakan sungguhpun tidak ada kartel dalam pemasaran DOC (broiler) namun ada indikasi terjadi praktik monopoli dibalik pelaksanaan kemitraan. Tentu saja pernyataan ini memunculkan pertanyaan baru, adakah sesuatu yang terlepas antara pendistribusian DOC dengan penyelenggaraan kemitraan ? Pada akhirnya PMA integrator bebas melakukan kejahatan Kartel dan Monopolinya dengan muncul dan berlakunya UU No.18 Tahun 2009. Mulyantono (000)

Perhimpunan Peternak Unggas Indonesia (PPUI)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon komentar dengan bahasa yang santun.