Minggu, 08 November 2009

UU No.18 Tahun 2009 adalah Legalisasi Monopoli & Kartel


-->
-->
Usaha Unggas Nasional Paska UU-PKH yang Baru

Ditulis pada 3 November 2009

Kebutuhan bibit ayam ras (DOC) Nasional secara normal saat ini adalah 25 Juta ekor per pekan. Realisasi produksi yang dilakukan oleh para perusahaan Breeding Farm (BF) dengan penetapan wajib setor telur tetas bagi anggota GPPU (Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas) posisi produksi DOC ditetapkan hanya sebanyak 18 jt s/d 20 jt ekor per pekan. Harga DOC ex Breeding Farm ditetapkan GPPU sebesar Rp. 4.250,-/ekor sampai dikandang Peternak sedangkan harga Pakan unggas ditetapkan oleh GPMT (Gabungan Produsen Makanan Ternak) sebesar Rp. 4.250,-/Kg.

Memperhatikan keputusan beberapa perusahaan sejenis (GPPU & GPMT) dalam komponen harga pokok unggas untuk menentukan harga, maka telah terjadi adanya usaha dagang/niaga secara kartel. Perilaku usaha secara Kartel ini telah berjalan selama 5 tahun sejak berlakunya UU No.6 Tahun 1967 hingga kini paska UU-PKH No.18 Tahun 2009 yang baru. Bagaimana Pemerintah dalam menjalankan UU No.5 Tahun 1999 (Tentang Larangan Praktek Monopoli & Persaingan Usaha Tidak Sehat) selama ini di Indonesia ?
 
Akibat pengurangan DOC yang dilakukan oleh para perusahaan BF melalui GPPU, terjadi kekurangan sebanyak 5 Juta ekor per pekan. Dampaknya adalah harga DOC menjadi mahal sehingga menjadi Rp 4.250,-/ekor, begitu juga harga pakan yang ditetapkan melalui GPMT bertahan pada harga Rp. 4.250,-/Kg. (Untuk menghindari harga yang dikartel, para perusahaan masing-masing menetapkan harga yang variatf pada kisaran kurang dan lebih Rp. 50 – Rp.100,-)

Dalam posisi dan situasi usaha unggas saat ini dengan berlakunya UU-PKH No,18 Tahun 2009, para perusahaan diperbolehkan untuk membuat usaha secara terintegrasi penuh yaitu setiap perusahaan diperbolehkan membuat usaha sejak dari Pabrik bibit, Pabrik pakan, Perusahaan Budidaya, pengolahan daging ayam sampai penguasaan pasar di konsumen. Bagi perusahaan PMDN atau PMA yang tidak melakukan usaha secara terintegrasi penuh, akan mengalami kehancuran usaha dan mereka tidak akan dapat bersaing di pasar dalam negeri (DN) menghadapi perusahaan integrator PMA..

Berlakuknya UU-PKH yang baru, assosiasi yang selama ini ada seperti GPPU, GPMT dan GAPPI, sudah tidak menarik lagi bagi para perusahaan PMDN yang tidak melakukan integrasi penuh dan sesungguhnya assosiasi tersebut hanya merupakan percepatan kehancuran usaha PMDN apabila keputusan GPPU dan GPMT diikuti. UU-PKH yang baru ini membuka peluang bagi setiap perusahaan unggas di DN untuk saling bersaing secara kompetitip dan bagaimana kemampuan menejerial usaha perungasannya masing-masing dilakukan secara terintegrasi sehingga akan terjadi kecenderungan monopoli usaha secara terselubung. Bila yang dilakukan seperti selama ini, yaitu semua perusahaan ditentukan oleh GPPU dan GPMT, maka akan meninggikan harga perotein unggas yaitu telur dan daging unggas di konsumen. Harga yang tinggi ini akan mengundang masuknya produksi unggas dari Luar Negeri (LN). Apalagi dalam UU-PKH yang baru ada ketentuan di Pasal 59 ayat 2 menyebutkan “produk hewan segar (daging, telur, susu) yang dimasukkan ke wilayah Indonesia harus dari unit usaha produk hewan pada suatu negara atau zona yang memenuhi syarat dan tata cara pemasukan produk hewan”. Pasal ini sangat melonggarkan bagi produk hewan asal unggas negara lain masuk ke Indonesia. Tidak tertutup kemungkinan kuat bahwa Pasal ini adalah pasal yang dibuat dari negara asing sehingga dapat diberlakukan di Indonesia. Kehadiran Pasal ini dalam UU-PKH yang baru membuktikan DPR-RI tidak mengkaji dan membahas Pasal ini secara dalam, apalagi UU-PKH yang baru ini dikaji DPR disaat masa jabatan DPR-RI (2004-2009) akan berakhir (Semua ini adalah manipulasi/kejahatan UU). Selama ini PPUI menyebutkan dengan “Regulation Laundring”. Dengan berlakunya UU-PKH yang baru ini, sesungguhnya perusahaan PMDN dan PMA non-integrator yang tergabung selama ini dalam GPPU dan GPMT tidak perlu untuk mematuhi assosiasi tersebut. Bahkan para perusahaan PMDN harus segera melakukan kerjasama membangun kesepakatan untuk membuat usaha secara terintegrasi dan bekerja-sama dengan peternak rakyat sebagai mitra usahanya serta bersaing langsung dengan para perusahaan PMA terintegrasi dipasar Dalam Negeri.

Mahalnya harga protein DN seperti yang dilakukan para perusahaan PMA terintegrasi dengan melakukan usaha secara Monopoli dan Kartel, akan mengundang masuknya daging impor atau protein asal impor. Selama berlakunya UU No.6 Tahun 1967, para perusahaan PMA selalu menjadikan Peternak Rakyat sebagai bamper untuk menghalau protein impor dengan selogan “Daging impor akan mematikan usaha peternak rakyat” walupun dalam kondisi PMA mengusai pangsa pasar Nasional. Berlakunya UU No.18 /2009 yang baru, sebutan Peternak Rakyat sudah dihilangkan dalam UU tersebut yang ada adalah perusahaan peternakan dan perusahaan yang terintegrasi. Jika ada upaya impor protein asal unggas atau hewan besar lainnya, maka tidak ada lagi alasan untuk mengatakan bahwa daging impor akan mematikan usaha peternakan rakyat. Jika ada unjuk rasa yang masih memakai atas nama Peternak rakyat, itu adalah pembohongan publik dan mereka itu adalah berasal dari karyawan Peternak dari perusahaan PMA integrator yang terganggu dan terdesak dengan adanya daging impor. Selanjutnya Pemerintah Indonesia tidak akan mampu meyakinkan pihak negara pengimpor bahwa daging yang dimasukkan dari negaranya akan mematikan usaha peternakan rakyat-banyak di Indonesia dengan kata lain, lobbi perdagangan Indonesia akan tidak dipercaya negara lain dalam rangka melindungi usaha peternakan bagi rakyat banyak di Indonesia. Atas dasar UU-PKH No.18 /2009 yang baru, negara asing memilki argumentasi tentang missi perdagangan Indonesia tidak memiliki dasar untuk melindungi Peternak raktyat-banyak yang sebenarnya adalah Pemerintah Indonesia saat ini melindungi para perusahaan PMA integrator. Dengan berlakunya UU-PKH No.18 /2009 yang baru, sebenarnya peran Pemerintah melalui Departemen Pertanian RI sudah tidak diperlukan lagi bagi sektor peternakan di Indonesia begitu juga Dinas-Dinas Peternakan di wilayah Propinsi. Uang rakyat dalam bentuk APBN maupun APBD tidak diperlukan lagi untuk membiayai operasionalisasi Direktorat Peternakan di DEPTAN–RI serta Dinas-Dinas Peternakan, karena pembangunan peternakan dan ketersediaaan protein hewani telah dilimpahkan sepenuhnya kepada pihak swasta dengan sistem kapitalisasi usaha peternakan terintegrasi di Indonesia.

Kedepan, dengan realisasi pasar bebas, dimana kemampuan kompetisi dan efisiensi sangat diandalkan, tidak tertutup adanya kehendak kuat dari investasi asing negara asing lainnya untuk membuat usaha peternakan terintegrasi di Indonesia. Mereka datang ke Indonesia untuk memanfaatkan pasar DN dimana Indonesia sebagai empat besar sasaran pasar dunia. Pada posisi seperti ini, akan terjadi kompetisi dan persaingan yang sangat tajam dan ketat di pasar komoditi peternakan di Indonesia, terutama sektor peternakan perunggasan. Persaingan sehat perdagangan dunia akan saling mengkoreksi posisi usaha industri yang tidak efisien.
Koran “Ekonomi & Bisnis, Rabu, 13 Mei 2009.

'Peternakan Rakyat Mendominasi kata Mentan-RI'

JAKARTA- Menteri Pertanian Anton Apriyantono mengungkapkan, hingga saat ini usaha peternakan rakyat masih mendominasi usaha peternakan nasional. ''Usaha peternakan rakyat jumlahnya mencapai lebih dari 95 persen dari jumlah keseluruhan peternak di Indonesia,'' katanya dalam Rapat Paripurna DPR dengan agenda pembicaraan tingkat II/Pengambilan Keputusan atas RUU tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan di Jakarta, Selasa 12 Mei 2009.

Apa sebenarnya dasar Mentan sdr. Anton Apriantono mengatakan di Harian Republika 13/5/09 "Peternakan Rakyat Mendominasi" kita ketahui, sapi masih terus menerus diimpor, Peternakan Unggas Rakyat sejak 1970 jumlahnya cukup banyak di PPUI terdaftar 80.000 peternak diseluruh Indonesia sekarang tinggal 8%-pun tidak sampai. Jadi yang dikatakan sdr. Anton Apriantono dasarnya apa ? UU-PKH No.18 /2009 yang menggantikan UU No.6/1967 dikatakan akan melindungi usaha Peternakan Rakyat, apanya yang dilindungi ? Kalau pasar para perusahaan Besar PMA budidayanya memanfaatkan sepenuhnya pasar dalam negeri, tidak ada Pasal mengharuskan expor utk lindungi usaha UKM unggas DN, bagian perlindungan peternak rakyatnya dimana ? Koq...menteri Pertanian omongannya seperti ini ?

Sdr Anton Apriantono telah berhasil mengganti UU No.6 Tahun 1967 yang memiliki substansi kuat untuk pemberdayaan dan kembang tumbuhnya UKM perunggasan yaitu Peternakan Rakyat, lalu Sdr. Anton Apriantono menggantinya dengan UU-PKH No.18 /2009 yang baru memiliki substansi kuat integrasi-industrialisasi usaha perunggasan kearah kapitalisasi asing yang terintegrasi monopolistik & Kartel. Kita ketahui perputaran usaha perunggasan Rp. 120 Triliun/Tahun diluar bahan baku pakan diberikan begitu saja kepada pihak Asing.

Bila produksi DOC Nasional dijalankan secara normal sebanyak 25 Jt – 30 Jt maka harga DOC bisa menjadi Rp.2.750/ekor, dengan harga jagung Rp.2.000/kg, maka harga pakan bisa ditekan jadi Rp.4.000/kg di peternak BEP Rp.11.000/kg, harga dikandang peternak Rp. 12.000,-/kg dan dipasar jadi Rp. 17.500,-/kg. Sehingga pendapatan masyarakat akan terdistribusi pada banyak peternak rakyat. Seperti sekarang ini dalam situasi monopolistik dan kartel, harga DOC Rp.4.250 – Rp. 4.000,- harga Pakan Rp. 5.200 sehingga BEP/Kg = Rp. 13.000,- Harga Pasar yang terjadi adalah Rp. 27.500/kg dalam Populasi yang dikurangi menjadi hanya sebanyak 18 – 20 Jt/pekan

UU-PKH No.18 /2009 yang baru di disahkan ini, sudah ada yang menggugatnya ke Mahkamah Konstitusi (MK) Jumat (16/10), fenomena yang menarik untuk bisa kita diskusikan. Apalagi mulut Mentan-RI Sdr. Anton Apriantono masih belum kering. Pasal yang digugat itu adalah Pasal 44 ayat (3), Pasal 59 ayat (2) dan (4), serta Pasal 68 ayat (4) UU No 18 Tahun 2009. Dikatakan pasal-pasal tersebut telah melalaikan aspek keamanan konsumsi daging impor. "Semangat pasal-pasal ini adalah membuka impor daging sebesar-besarnya dengan mengabaikan keselamatan konsumen serta pengabaian resiko-resiko penyakit hewan didalam negeri dan merugikan peternak hewan rakyat di dalam negeri," Pasal-pasal ini juga telah menjelaskan keberpihakan Pemerintah terhadap pengusaha PMA tanpa memperhatikan peternak dan petani.

Jakarta, 3 November 2009
Dewan Pimpinan Pusat
Perhimpunan Peternak Unggas Indonesia
(DPP - PPUI)





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon komentar dengan bahasa yang santun.