Kamis, 09 September 2010

Usaha Perunggasan Nasional Yang Terjajah


Swasembada Ayam & Telur Kok Terjajah

Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Muslim, BAMBANG IRAWAN

Petani dan peternak mestinya menjadi subjek agenda utama Menteri Pertanian. Karena kalau petani dan peternak sudah sejahtera, maka bisa dibilang 2/3 penduduk negeri telah terentaskan dari kemiskinan. Sayang, kenyataan berbicara lain.

Saat tahun lalu Presiden SBY memilih Suswono sebagai Menteri Pertanian (Mentan) dengan harapan mampu melebihi Mentan terdahulu. Harapan penegakan integritas akhlakul karimah pun tinggi untuk membenahi belasan ribu birokrasi di Kementerian Pertanian (Kementan) yang bermental, berperipikir dan berperilaku suka melahap proyek, suka “narsis” kekuasaan saat di jalur otorisator; bahkan kerap menjadikan petani dan peternak bukan subjek pertanian, tapi sebagai objek jualan beragam proyek berhala. Namun, harapan itu mendadak kempis, begitu sang Mentan dari PKS itu menyatakan bahwa Indonesia sudah swasembada ayam dan telur, yang dikutip banyak media.

Mentan jabatan politis. Jadi, wajar bila sikap kritis harus cepat disorongkan kepadanya, karena ucap-tindaknya jelas akan berdampak dan berbias ke mana-mana, termasuk ke sentra pergerakan peternakan bumiputera di pelosok kampung negeri ini. Mereka prihatin, belum juga lama jadi Mentan, peternak bumiputera merasa mulai dipunggungi Mentan.

Bila ucap itu dari Menteri Perdagangan (Mendag), mungkin terasa lebih pas dan boleh karena Mendag memang mengurusi komoditas dagang, termasuk ayam dan telur. Mendag tidak mengurus petani atau peternak. Yang mengurus mereka adalah Mentan.

Pernyataan “pedagang” itu persis sama ketika ratusan tahun lalu VOC (firma dagang Belanda) menjajah negeri ini berabad-abad dan menyatakan nusantara ini telah swasembada rempah, teh, karet, dan lainnya. Bahkan menjadi produsen terbesar di dunia.

Namun kalau ditelisik, apakah petani rempah, teh, karet dan lainnya jadi subjek utama VOC dan Belanda. Sama sekali tidak! Mereka hanya objek dan faktor produksi pertanian penjajah. Apakah para petani saat itu sudah swasembada dan sejahtera? Bisa dipastikan tidak. Mereka tetap miskin, karena mereka hanyalah kuli, bahkan pekerja rodi di tanah mereka sendiri. Keringat dan darah mereka hanya membuat Belanda jadi makmur, kaya dan sejahtera hingga kini; bahkan ber-“multiplier effect” ke masa datang.

Mari telisik dan menelaah fakta bisnis ayam dan telur. Hingga kini, nilai tambah bisnis ternak ayam dan telur Indonesia hanya dinikmati sekelompok kecil perusahaan ternak skala besar (integrated farming) yang secara oligopoli dan kartel menguasai bisnis dari hulu (industri bahan baku pakan, industri pakan ternak, parent breeding, breeding farm, hatchery, DOC, obat ternak, vitamin, dll), ternak unggas niaga (commercial farm), pedagang besar unggas, dan rumah potong hewan (slaughter house), serta food processing, hingga merasuk di bisnis hilir (retailer, fast food, restoran, dll).

Mari telisik dan perhatikan data dari beberapa sumber, termasuk FAO tentang Indonesia. Cermati data komposisi persentase ongkos produksi rata-rata ternak ayam. Pakan 70-81,7 persen. Obat dan vaksin 4,7 persen. Tenaga Kerja 2,8 persen. Energi dan air 2,7 persen. Kuri/DOC/lainnya 8,1 persen.

Karena ongkos pakan ternak paling besar (70-81,7persen ), mari telisik dan kritisi bahan bakunya. Jagung 50 %. Soybean meal 18 %. Rice bran 15 %. Wheat pollard 5 %. Fish meal 3 %. Pape seed meal 3 %. Fat/Oil 1 %. Lainnya 5 %. Kritiklah mana yang local content yang menyejahterakan bumiputera? Atau mana yang menghambur-hamburkan devisa?

Jagung adalah komponen terbesar pakan ternak (± 50%). Sayangnya, penghasil jagung pakan ternak terbesar adalah kelompok perusahaan oligopoli/kartel. Para petani hanyalah plasma rodi semata disaat jagung dipanen petani, harga dijatuhkan perusahaan FeedMill.
Mari telisik dan kritik komposisi market share pakan ternak ayam di Indonesia. Charoen Pokphand 28,10 persen. Japfa 17,27 persen. Sierad 11,58 persen. Wonokoyo 8,67 persen. Chell Samsung 7,89 persen. Cargill 6,32 persen. Gold Coin 3,27 persen. Lainnya 16,9 persen.

Mencermati data di atas, jelas terjejak bahwa selama ini arus kas/laba/kesejahteraan; mayoritas mengalir, terakumulasi dan mengendap hanya ke sekelompok kecil perusahaan PMA integrated yang oligopoli dan kartel menguasai bisnis peternakan ayam dan telur di Indonesia secara melanggar UU.

Mayoritas perusahaan oligopoli dan kartel itu dimiliki pihak asing. Akibatnya mayoritas uang dan laba akan mengalir, terakumulasi dan mengendap di negara mereka. Membuat negara mereka jadi makmur, kaya dan sejahtera. Bukan Indonesia! Inilah kolonialisme era abad ini. Modern halus dan tidak perlu pakai perang dan senjata konvensional.

Akibatnya lagi, peternak rakyat bumiputera, sebagai populasi terbesar, hanya bisa menikmati margin sisanya saja (± 2,8 % ongkos produksi/cogs); yaitu sebagai peternak terjajah pemelihara/penggemukan melalui pola kemitraan inti–plasma (contract farming) yang tidak fair, rodi dan bahkan sangat tidak adil.
Margin yang tersisa (± 2,8 % cogs) itupun didesain, dijatah ketat dan sistematis dikontrol perusahaan oligopoli dan kartel milik asing itu. Namun bila ada musibah, para peternak bumiputera/plasma nyaris harus menanggung beban rugi sendirian. Ironinya, mereka didesain terlilit utang, berpola rentenir, dengan pihak intinya (juragan ternak).

Pendek kata, para peternak bumiputera/plasma hanya menjadi kuli dikandang milik sendiri, bahkan pekerja rodi di lahan ternaknya sendiri. Ironinya lagi, mayoritas hanya memiliki 3.000-5.000 ekor ternak bahkan kurang.
Kini 65 tahun sudah NKRI merdeka nan kaya sumber daya alam dan sumber daya manusia merdeka. Tapi kok mayoritas petani dan peternak bumiputera masih pada kere alias miskin ?.

Jadi, jikalau Mentan RI Suswono dan/birokrasi Kementan menyatakan bahwa saat ini peternak ayam dan telur di Indonesia sudah swasembada, namun nyatanya para peternak bumiputera/plasma masih gurem-miskin; maka bolehlah Menteri dan birokrat NKRI di Kementan disamakan dengan penjajah VOC yang memeras keringat dan mengisap darah petani dan peternak Indonesia. Bagaimana Pak Presiden SBY? Setuju? Merdeka! (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon komentar dengan bahasa yang santun.